Siapakah aku sebenarnya? dan bagaimanakah, sering aku
bertanya pada diriku sendiri, perjalanan hidupku ini akan berakhir?
Pagi itu, sunyi terasa
begitu mendekap. Dan aku sedang duduk tidak jauh dari tenda tempat aku
bermalam. Terpaku pada satu titik, lama aku terdiam menatapnya. Menyaksikan
segala hal yang berlalu di dalamnya.
Matahari masih enggan
tampakan diri namun kabut begitu setia menemani, seakan menafaskan kehidupan
yang sudah berlalu. Bau tanah merah selepas hujan. Angin yang bertiup semilir,
datang menyibak keheningan, simpulkan keraguan.
Mengenai kehidupanku? Kehidupanku tidaklah spektakuler
seperti yang pernah aku angankan, tapi juga tidak terlalu membosankan dan
monoton. Tidak ada yang istimewa mengenai diriku.
Aku lebih banyak terdiam menyikapi keadaan.
Aku hanyalah laki-laki biasa, dengan pikiran biasa,
bahkan kehidupan yang aku jalani pun biasa saja.
Aku tidak memiliki banyak sahabat, yang terbaik pun
aku tinggalkan. Tanpa permasalahan, aku pergi saja tanpa kabar, hingga batas
sabar mereka hilang, tergantikan oleh kebencian, tanya yang begitu menggumpal. Sesal
pasti ada, namun aku menerimanya dan terus mendoakan kebaikan untuk mereka.
Mendung begitu setia
mendatangi hari, tidak nampak akan adanya warna lain pada hari ini. Dan benar saja,
hujan terus saja datang. Tidak terlihat akan menghentikan rintiknya.
Dari pintu depan tenda
yang terbuka, aku melihat tiga gunung menampakkan diri dengan gagahnya.
Mengecilkan keberadaan kota-kota yang berada dibawahnya.
Mengingatkan pada masa
lalu, masa jaya, cerita tentang puncak para dewa.
Tidak banyak aktifitas
yang bisa dilakukan. Sementara hawa dingin semakin terasa menusuk kulit, yang
bisa dilakukan hanya memanaskan air atau bersenda gurau dengan rekan
seperjalanan. Sekedar untuk menghabiskan waktu.
Tidak banyak yang telah aku lakukan di dunia. Mungkin
yang terjadi seperti halnya apa yang dilakukan manusia kebanyakan. Ada hal baik
tapi itu juga beriringan dengan banyak hal buruk.
Kebodohan-kebodohan semasa muda, kebohongan-kebohongan
yang ada, terjadi begitu saja.
Sementara usia sudah mulai menggerogoti anganku, tidak
memberikan waktu untuk menoleh ke belakang dan memikirkan segala hal yang
terjadi. Mimpi atau realitas semakin samar dibedakan.
Sibuk untuk
hidup atau sibuk untuk sekarat.
Sayangnya, waktu tidak mempermudah diriku untuk tetap
pada jalur yang sama. Jalan yang aku lalui kini, penuh dengan kerikil dan batu.
Aku memang masih muda dan sehat, usiaku seperti yang banyak orang katakan,
tengah berada pada usia produktif.
Namun itu hanyalah sudut yang terlihat oleh mata, pada
raga. Karena pada jiwa, aku hanyalah kayu yang berisikan rayap, lapuk dan mudah
hancur.
Kehidupan cintaku? Ah tidak seindah khayalan yang aku
tulis. Namun aku pernah mencintai seseorang dengan kesungguhan hatiku, dengan
setulus jiwa yang aku miliki. Dan bagiku, itu sudah cukup. Meski kisah kami
akhirnya berbeda di ujung jalan.
Memang bukanlah kisah roman impian, dimana akhirnya
cinta itu dipersatukan. Namun aku selalu bersyukur, karena telah dipertemukan
dengannya.
Banyak yang akan menyebutnya kisah romantis namun
banyak juga yang berkata itu adalah kisah yang tragis. Menurutku hanyalah
gabungan dari keduanya.
Ada beberapa kisah yang menimbulkan kesalahpahaman, namun
aku selalu percaya, perlahan waktu akan menyingkap kebenaran, meski kematianlah
yang menunggu di ujung jalan.
Pagi berikutnya, kami
memutuskan untuk menyudahi perjalanan. Tidak ada perjalanan menuju puncak, karena
memang sedari awal, itu bukanlah tujuan utamanya.
Cuaca masih kurang
bersahabat, kabut masih sering datang, menutup jarak pandang. Tidak banyak
orang yang aku temui pada perjalanan kali ini. Suasana yang sebenarnya jarang
aku temui. Tenang dan sunyi, begitu terasa. Sesuatu yang dalam 2 tahun
belakangan ini begitu jarang aku temui.
Segala sesuatu bergerak begitu cepat, seakan tidak
memberikan waktu untuk menghela nafas. Aku mengingkari segala hal yang
memperdulikanku. Uluran persahabatan yang terjalin, mengacuhkan segala rasa yang
ditaburkan sang pencipta.
Segala hal baik seakan tidak berarti, penilaian yang
ada hanyalah untuk kehinaan. Jalani hal yang salah terasa lebih berarti
ketimbang memikirkan apa yang benar.
Perjalanan ini,
menyadarkanku akan sebuah hal. RINDU. Sesuatu yang tidak aku temui setahun
belakangan ini.
Aku hanya berjalan saja,
mengikuti arus yang ada. Tak ada lagi hasrat menggebu, yang ada kini hanya
perjalanan mencari sebuah pengakuan.
Hidup memang aneh, kadang ia
memberikanmu kejutan-kejutan yang tidak bisa engkau bayangkan, namun kadang
hanya berjalan dan mempertemukanmu dengan berbagai hal yang tidak pernah kau
angankan. Dan terkadang hidup hanya melakukan sebuah perulangan.
Mempertemukanmu dengan berbagai hal yang sama.
Ada begitu banyak hal yang aku sukai dalam hidup.
Melihat matahari turun dan menantikannya datang kembali. Berbagi secangkir kopi
dengan teman seperjalanan, melihat sekawanan burung bercengkrama menghabiskan
waktu. Merencanakan sebuah perjalanan, mengunjungi temat yang sebelumnya tidak
pernah dikunjungi.
Melihat senyum adikku.
Namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku
tengah butuh waktu untuk merindukannya lagi.
Ya aku rasa benar, Aku memang butuh waktu, untuk
merindukanmu lagi. Hidup.
Merbabu, 16 Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar