1.
Kamu tahu awan
kumulonimbus. Tebal, pekat, sulit ditembus dan mengandung badai. Ya itulah
kita. Sulit membayangkan melewati hari bersamamu.
2.
Kamu adalah
bagian dalam sejarah hidupku. Memiliki kisah dalam rangkaian perjalanan yang
kulalui. Itu saja, selebihnya kamu hanyalah awan. Tampak padat berisi namun
rapuh ketika disentuh.
3.
Kita pernah
menatap awan yang sama, melukis harapan yang ingin kita lalui berdua. Ah
mungkin itu jualah alasan perpisahan kita. Kita terlalu memaksakan teduh tanpa
mau melalui sukar.
4.
Melihatmu seperti
memandang awan hitam di kejauhan. Ketakutan terbesar adalah akan terjadinya
badai tanpa ada persiapan untuk menanggulanginya.
5.
Berjanjilah bukan
hanya ketika cerah datang menaungi langit. Bukan saat awan bersenandung
beriring berarak. Berjanjilah ketika hidup membawa ke dalam lingkaran badai.
Kamu akan tetap memegang tanganku.
6.
Kamu hanyalah
cerita dibalik awan. Padat berisi namun rapuh saat kusentuh. Hanya butir embun
sebagai pengingat kenangan.
7.
Aku dan kamu
adalah kumpulan awan. Yang hanya akan menjadi hujan apabila bersatu.
8.
Pernah aku
melihat awan di ketinggian. Aku senang saat menatapnya. Sebatas itu saja. Sebab
jika kugapai pun, hanya kesiasiaan yang menanti.
9.
Ini kisah jaman
dahulu kala, dimana hiduplah seorang nelayan dan keluarganya. Ketika itu, sang
nelayan sedang melaut bersama dengan seorang anaknya. Ketika hari mulai
beranjak pagi, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak.
“ayah, kenapa awan itu begitu jauh
diciptakan?” tanya sang anak sembari
menunjuk sekumpulan awan, yang pagi itu terlihat putih berarak.
“karena jika terlalu dekat akan
menyebabkan hilangnya keseimbangan”
jawab ayahnya.
“keseimbangan??”
“iya, memang seperti itulah garis yang
sudah ditakdirkan. Dahulu kala, sebelum Tuhan menciptakan keadaan tersebut.
Awan dan lautan berjarak tidak begitu
jauh. Mereka selalu dengan mudahnya bertemu”
“Lalu mengapa kini mereka diciptakan
saling berjauhan?” tanya sang anak
yang masih penasaran.
“Karena keadaan tersebut menyebabkan
ketidakseimbangan, dan juga menimbulkan kecemburuan”
“Ketidakseimbangan,
kecemburuan??” sang anak hanya bisa
menggarukkan kepala mendengar jawaban ayahnya.
Sang
ayah hanya tersenyum melihat raut wajah anaknya “Karena kedekatan mereka, daratan merasa dijauhi. Daratan merasa, awan
hanya memperhatikan lautan”
“Daratan pun mengajukan keberatannya
kepada Tuhan, dan Tuhan mengambil keputusan terbaik untuk semua. Yaitu
menciptakan sebuah siklus” lanjut
ayahnya lagi.
“Dengan siklus itu, semua dapat saling
berhubungan, tanpa harus menimbulkan
kecemburuan satu dengan lainnya”
Sang
anak akhirnya mengerti, sekalipun tidak ia akan selalu mengingat pesan dari
ayahnya. Bahwa hidup tidak harus dimengerti saat itu juga, bisa saja nanti.
Saat kita sudah berjalan melalui beberapa siklusnya.
10. “Kita seperti awan dan lautan. Dipersatukan oleh
sebuah siklus. Laut berpesan kepada awan melalui uap. Awan menitipkan rindu
dalam butiran hujan. Hanya dapat saling memandang kagum, tidak memiliki.”
Kramat
Jati, 9 Januari 2015
Yang ke-10 paling gue suka kata-katanya. Keren! :)
BalasHapuswaduhh tulisannya , makna nya dalam banget bang...
BalasHapus@irfan : ^_^,,syukurlah jika disukai..terima kasih atas kunjungannya :)
BalasHapus@Lapak Medan : ga sedalam sumur tetangga kok gan :p