Visit me in everywhere @ngawaludin |
Pertanyaannya
sekarang, benarkah tindakan Kemenpora?
Benar. Jika ditilik dari sisi peran,
kemenpora mempunyai “hak” untuk mencampuri urusan sepakbola di Indonesia. Karena
PSSI masih dibawah berada di bawah mereka, diangkat dan diakui oleh kemenpora,
yang merupakan perpanjangan tangan dari negara. Belum lagi, PSSI merupakan
badan publik, dimana sumber pendanaannya bisa dari mana pun. Namun sayangnya,
PSSI seakan enggan berbenah. Mereka menggaungkan keterbukaan dan bisa
dipertanggung-jawabkan, tetapi tidak ada laporan “nyata” kepada pecinta
sepakbola. Akar permasalahan pun semakin dalam. Padahal dalam undang-undang ada
peraturan tentang badan publik. Berdasarkan
undang-undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi
publik. Pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 (3) menyebutkan :
“Badan
Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi
nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.”
Suka atau tidak, PSSI masih berada di
bawah pemerintahan, dalam hal ini di bawah Kemenpora. Kegiatan yang menjadi
program PSSI pun sedikit banyak masih berkaitan dengan penyelenggaraan negara,
semisal PON (Pekan Olahraga Nasional) yang mengharuskan PSSI menjalin
koordinasi dengan KONI. Begitu pun dengan SEA GAMES, yang kita semua tahu,
tanpa bantuan pemerintahan, infrastruktur tidak akan diperhatikan.
Lalu
salahkah dengan apa yang dilakukan Kemenpora?
Tentu saja salah. Karena sepakbola,
seyogyanya hanyalah sepakbola. Jangan sampai ada intervensi dari wilayah lain,
terutama politik. Yang paling disesalkan, tentu saja intervensi Kemenpora yang terlalu jauh. Menghentikan liga bukanlah
solusi terbaik. Memberi efek jera, saya setuju. Memberi peringatan, saya
setuju. Intervensi? Tidak, saya tidak menyetujuinya. Kemenpora tidak boleh
lupa, “tidak ada organisasi buatan
manusia yang sempurna”. Masalah pasti ada, tetapi harus bisa diberikan
solusi, bukan mematikan.
Soal politik, bahkan menurut saya, seorang
Sepp Blatter dan FIFA juga tidak luput dari dosa. Hal itu bisa dilihat dari penunjukan
Qatar sebagai penyelenggara piala dunia 2022. Kompromi sangat jelas terlihat dalam
penunjukan ini. Kompromi tersebut bisa dilihat dari memaklumi kondisi cuaca
yang super panas hingga mundurnya jadwal penyelenggaraan. Dimana pertandingan
akan digelar menjadi akhir tahun. Jika umumnya diselenggarakan pada juni dan
juli, demi Qatar, piala dunia akan diselenggarakan pada akhir tahun, sekitar november
hingga desember. Isu yang berkembang, akan ada pengurangan hari, jika biasanya
diselenggarakan dalam 30 hari, demi Qatar akan diselenggarakan dalam 28 hari. Kompromi
yang luar biasa bukan.
Apa lebihnya Qatar? Piala dunia mereka
tidak pernah berpartisipasi, piala asia mereka tidak pernah menjadi juara di
level senior. Lalu apa? Bagi saya pribadi, kelebihan terbesar Qatar adalah
sumber dana mereka yang tidak terbatas. Mereka bukan negara adidaya, tapi
mereka negara yang teramat kaya. Pulau pun dapat mereka buat. Itulah sumber
daya terbesar mereka. Itulah daya tarik Qatar. Kelebihan lain dari Qatar adalah
mereka termasuk negara yang menyukai sepakbola. Dan mereka tidak takut untuk berinvestasi
dalam jumlah modal yang sangat besar. Hal itu dapat dibuktikan dari bagian dada
seragam beberapa klub top eropa. Bukan hanya seragam, nama stadion pun, mereka
berani untuk berinvestasi. Belum lagi kepemilikan pebisnis Qatar atas sebuah
klub papan atas eropa. Politik sangat kental, walau memang masih belum dapat
dibuktikan. Kebijakan yang masih penuh dengan pro dan kontra.
Indonesia pun demikian. Politik seakan
menjadi lembaran kelam dalam sepakbola. Saya geram bukan main ketika melihat pendukung
ketua umum PSSI yang lalu, mem-backup
mati-matian sang bos. Padahal kasus korupsi tengah membelenggunya. Sampai dipenjara
pun tetap dibela. Bos, yang diatas angin, tidak mau turun tahta. Menjadikan korupsi
seakan begitu agung di negara ini. Belum lagi mafia pengaturan skor. Sisi yang dicari
hanyalah keuntungan. Majunya tekhnologi seakan dimanfaatkan beberapa pihak
meraup untung, termasuk dari sisi perjudian online.
Saat ini seolah-olah tidak ada orang
yang mampu untuk mengelola PSSI, kecuali para mafia. Namun menurut saya, sebenarnya
bukan tidak ada. Indonesia memiliki banyak pakar dan ahli sepakbola. Hanya saja
mereka masih takut untuk berbuat lebih. Atau mungkin juga, hanya senang
bergaung ketimbang berbuat.
Jujur saja, hal mendasar yang menurut
saya harus diubah adalah kepengurusan. Saya heran, kenapa ketua umum PSSI tidak
pernah seseorang yang “murni” hidup dari sepakbola. Pensiunan pesepakbola, pelatih
sepakbola, atau paling tidak yang hidup dari sepakbola. Kenapa tidak ada yang
berani maju seperti halnya Michael Platini, presiden UEFA saat ini, yang kita
tahu merupakan pensiunan pesebakbola. Belakangan pun, Luis Figo terang-terangan
maju menjadi salah satu kandidat presiden FIFA. Lalu kemana orang-orang seperti
bima sakti, aji santoso, aples tecuari, ruly nere, kurniawan dwi yulianto dll?
apa mungkin perlu menunggu bambang pamungkas pensiun terlebih dahulu, lalu
menyuruh dia mencalonkan diri menjadi ketua umum PSSI. Persyaratan menjadi ketua
umum PSSI pun, sudah mereka kantongi, lalu apa lagi yang kalian tunggu. Syarat umum menjadi ketua umum PSSI secara
garis besar adalah : berusia lebih dari 30 tahun, aktif dalam sepakbola sekurang –
kurangnya 5 tahun dan tidak terkait masalah pidana.
Lalu syarat terpenting, menurut saya :
Anda harus mencintai sepakbola seutuhnya, bukan
kuasa sepenuhnya.
Pernahkah kalian, yang mengaku supporter,
peduli dengan pendanaan klub kalian? Atau kalian hanya peduli melihat tim
kalian bertanding dan bernyanyi “hari ini pasti menang”, tanpa mau mengakui
kekalahan dan belajar daripadanya. Berteriaklah untuk “keterbukaan”, karena hanya
dengan hal tersebut, setidaknya “rasa memiliki” kalian jauh lebih besar
ketimbang terus menghujat berbagai permasalahan. Kemandirian akan timbul dengan
sendirinya. Setidaknya, sudah ada klub yang melakukannya, tanpa harus merengek atau “melacurkan klub” kepada daerah lain. Persib Bandung adalah contoh
terbaik klub yang mau belajar, mereka rela menjual “penampilan” seragamnya. Mereka
sadar, penampilan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan mereka akan gelar juara
dan juga kebutuhan akan pemain terbaik. Setidaknya, klub itu menjadi stabil
dalam menghadapi kompetisi.
Lalu Persipura Jayapura dan arema malang
(sekarang lebih dikenal sebagai arema cronus). Untuk persipura saya salut
dengan hangatnya sistem manajemen mereka. Sistem kekeluargaan lebih
dikedepankan. Hal itu membuat mereka tampil stabil menghadapi banyak kompetisi
dan membuat seorang boas solossa, bertahan hingga detik ini. Lalu arema, meski
terkena kartu merah dari Kemenpora dan BOPI, saya selalu mengagumi keterbukaan
manajemen mereka. Sedari awal, manajemen sudah terbuka tentang target
pendapatan mereka. Dan itu disampaikan pada siaran televisi.
Yah apapun, sebagai seseorang yang
menyukai olahraga ini, saya berharap PSSI dan Kemenpora menemukan jalan tengah.
Mampu saling bersinergi. PSSI harus lebih kuat, tidak kalah oleh kepentingan, bahkan
oleh “konser boyband”. Kuatkan pembinaan, perbanyak kompetisi tingkat usia
dini, buat lebih banyak lapangan berkualitas “anti banjir”.
Saya berharap PSSI bisa membuat program
pembinaan bernama “goes to school”. Negara kita tidak kekurangan bibit unggul,
ada banyak. Mereka hanya menunggu untuk ditemukan, diasah dan diberikan arahan.
Dan seperti banyak pemikiran orang tua di negara ini, menjadi pesepakbola bukanlah
pekerjaan favorit. Di masa nanti, bisa saja kan PSSI bersinergi dengan
Kemenpora untuk menghilangkan stigma tersebut dan memberikan jaminan kehidupan yang
layak atau mungkin menjadi pegawai negeri di masa pensiun nanti. Ah tapi itu
hanyalah harapan saya saja ya!!
Dan jangan tanamkan di setiap hati
generasi pecinta sepakbola negeri ini “budaya HARUS menang”. Beberapa supporter
masih memiliki fanatisme sempit, melihat berdasarkan daerah atau warna seragam
sepakbola. NO RESPECT, NO LOVE. Bahkan
karena hal ini, bisa saja anda mati hanya karena berteriak di depan sekumpulan supporter,
atau dikejar hanya karena memainkan jempol anda ke bawah. Itu sudah terjadi
loh.
Jauhkan nyanyian “Garuda..,didadaku..,Garuda..,kebanggaanku..,Kuyakin..,hari
ini..,pasti menang”, jadikan “Garuda..,didadaku..,Garuda..,kebanggaanku..,Bertarung..,dengan
penuh..,kehormatan”.
Just My Opinion – Don’t Look Back in
Anger
0 komentar:
Posting Komentar