Arti Iman (Karena Tuhan itu
ada)
Sabtu penuh duka
Sabtu
5 November 2011
Hari
itu ada sebuah kabar duka. Bi Enah yang merupakan saudara dari kami meninggal
dunia.Beliau meninggal di usianya yang sudah memasuki kepala tujuh.
Bi
Enah merupakan saudara dari bokap,adik kandung dari Kakek (aku biasa
memanggilnya dengan sebutan Uwa). Rumah beliau bersebelahan dengan rumahku.
Disana
beliau tinggal dengan beberapa anaknya.
Saat
beliau meninggal kebetulan saya tak menemaninya.
Jumat
malam,Bi Enah dibawa ke rumah sakit Pusdikkes oleh anak anaknya. Saat itu
kondisinya kian parah karena sakit yang dideritanya. Tapi pada saat itu ibuku
sendiri berpendapat,bahwa yang dilakukan oleh mereka (anak anak Bi Enah)
terlambat. Karena sakit yang diderita Bi Enah seharusnya bisa lebih cepat
ditangani dan diobati.
Hehhh....
Singkat
cerita ketika Sabtu sore (saat itu sekitar jam 3an) saya mendengar keadaan Bi
Enah mulai kritis. Nyokap,Nenek,Bibi dan hampir seluruh keluarga Bi Enah pergi
menuju ke RS Pusdikkes.
Saat
itu saya tak bisa ikut bersama mereka karena harus pergi ke tempat teman untuk
menyelesaikan tugas kuliah.
Ketika
menjelang jam 5 saya sudah kembali ke rumah tapi Cuma sebentar karena saya
harus pergi lagi untuk kuliah.Saat itu nyokap sudah kembali ke dari rumah
sakit. Saya pun segera bertanya tentang keadaan Bi Enah.
“Gimana
mak keadaan Bi Enah??”
Nyokap
lalu menghela nafas panjang
“Keadaannya
tak kunjung membaik,ketika kesana emak kasihan ngelihat kondisinya wal.Untuk
bernafas aja bibi udah kesusahan” Ujar nyokap seraya mengelus-elus dadanya.
Mendengar
hal itu saya Cuma bisa menghela nafas dan berdoa semoga Tuhan memberikan yang
terbaik untuk Bi Enah.
Selepas
maghrib saya pun berangkat menuju kampus. Tak ada firasat apapun kala itu.
Saya
selalu yakin bahwa semuanya akan diberikan jalan yang terbaik.
Ketika
malamnya saya kembali (saat itu sudah sekitar jam 9 malam lewat) saya terkejut.
Dari arah gang menuju ke rumah saya sudah melihat banyak bendera kuning yang
berkibar.
Pola
pikir saya semakin tak menentu ketika melihatnya.
Segera
saya memacu motor saya untuk menuju kembali ke rumah.
Ketika
menuruni turunan di gang,saya akhirnya melihat sesuatu yang sebenarnya saya tak
ingin itu terjadi.
Saya
melihat keramaian di rumah Bi Enah.
Saya
segera berhenti di depan rumahnya,
Saya
terkejut karena ternyata apa yang paling tak saya harapkan terjadi. Bi Enah
telah tiada dan pergi dari kehidupan kami semua.
Beliau
menghembuskan nafas terakhirnya selepas Bada Isya. Saat umat muslim merayakan
takbiran untuk menyambut hari raya Idul Adha esoknya.
Arti Iman
Bi
Enah baru dimakamkan pagi harinya,selepas sholat Idul Adha di *Kober belakang
tak jauh dari rumah kami.
*Kober = sebutan
tanah pemakaman dalam bahasa betawi/bahasa asli Jakarta
Karena
ramai saya tak begitu melihat proses pemakamannya.
Sore
harinya,selepas mengantarkan daging ke rumah Nenek di daerah lubang Buaya,saya berbincang
sebentar dengan Ibu saya di teras rumah.
Sembari
menikmati sate kambing dan sop tulang sapi hasil buatannya,ibu saya bercerita
sedikit tentang keadaan Bi Enah sebelum dan sesudah kematiannya.
“Kasihan ngelihat Bi Enah wal” Ujarnya
kepadaku sembari melihat ikan ikan yang berada tak jauh dengan teras rumah
kami.
“Kasihan
kenapa mak??” Tanya saya singkat.
Ibuku
lalu menarik nafas panjang
“Kasihan
wal,mau matinya aja kayanya susah banget !! Kesusahan banget menjelang matinye”
“Susah
gimana??” Ujarku yang semakin penasaran dengan cerita Ibuku
“Jadi
ketika mau meninggal,Bibi tuh udah kesusahan buat bernafas !!
Kruokkkkk...Kruookkkkk....Kruoookkkk.....begitu suara nafas bibi pas mau
mati,mirip banget sama orang yang dicekek” Ujarnya seraya memeragakan bunyi
nafas terakhir Bi Enah ketika di rumah sakit.
“Dan
mulutnya pun selalu dikerubungin sama lalat,ya Allah wal kasihan banget emak
ngelihatnya” ucap Ibuku seraya mengusap usap dadanya.
Ibuku
lalu terdiam sejenak,ia lalu menceritakan sebuah kejadian lagi ketika dalam
perjalanan pulang di ambulan yang mengantarkan kepulangan jenasah Bi Enah. Saat
itu Ibuku,*Uwa,dan beberapa anak Bi Enah berada di dalam Ambulan.
*Uwa = Sebutan
Kakek atau Nenek dalam bahasa daerah tertentu
“Saat
dalam ambulan,tali pocong Bi Enah terlepas dan segera ajah geto mulutnya
menganga !!beluman lagi, matanya juga ikut ikutan melotot” Ujar Ibuku sembari
berusaha memeragakan apa yang dilihatnya ketika itu.
“Semua
yang ada di ambulan ga ada yang berani buat nutup,Uwa sama anak anaknya aja
sampe ketakutan sendiri melihatnya !! akhirnya emak juga yang turun tangan buat
ngiketin tali pocongnya lagi”
“Kasihan
wal,mana pas di ambulan mulut Bibi dilalerin mulu..!!Ya Allahhh..” Ujar nyokap
seraya mengelus elus dadanya lagi
“Makanya
wal jadi orang yang rajin sholat ya tong,jangan pernah tinggalin ibadah”
Bukan
tanpa alasan Ibuku berkata demikian,semasa hidupnya Bi Enah memang dikenal tak
pernah melaksanakan Ibadah.
Jangankan
mengaji,menurut Ibuku saja beliau jarang melaksanakan Sholat, bahkan bisa
dibilang tak pernah.
Semasa
hidupnya Bi Enah juga dikenal sebagai orang yang senang bergunjing,dalam
pengertian ini membicarakan orang lain.
Yuph..bisa
dibilang beliau sangat senang bergosip.
Fiuhh...apa
ini azab darimu Tuhan??
Seminggu
setelahnya Ibu saya mendengar sebuah cerita dari neneknya Ami,tetangga saya.
Dia bilang anaknya yaitu bang Rohim bercerita pada saat akan menguburkan dan
membuka tali pocong dari Bi Enah terkejut bukan main karena tiba tiba mata dan
mulut dari Bi Enah terbuka begitu saja.
Dengan
mata melotot dan mulut menganga seperti orang yang terkejut.
Bang
Rohim saat itu tentu saja sangat terkejut dan cerita neneknya Ami tak sanggup
melanjutkan dan minta digantikan oleh orang lain.
Ibuku
hanya bisa bersedih mendengar cerita itu.
Dan
sejak saat itu beliau selalu cerewet dan tak pernah berhenti menasehatiku untuk
melakukan Ibadah.
Apa
yang terjadi dengan Bi Enah menurutnya terjadi karena arti iman yang telah
meredup dalam dirinya.
Sebuah
keimanan yang tak lagi dianggap dan hanya dijadikan sebuah simbol identitas
semata.
Menganggap
kefanaan adalah segalanya di dunia,tanpa pernah memikirkan kekayaan di akhirat
kelak.
Tuhan
memang tak mempunyai bentuk,Tuhan memang tak kita ketahui rupanya. Tuhan memang
tak akan datang ketika panggil,Tuhan juga tak akan hadir ketika kita undang.
Tuhan
itu fana tapi percayalah bahwa dia nyata.
Tuhan
selalu melihat setiap perbuatan kita,Tuhan selalu mendengar setiap ucapan kita.
Dia
tidak menilai,Dia juga tidak akan menjatuhkan sebuah keputusan kepada kita
sebagai umatnya.
Yang
menilai dan menjatuhkan keputusan semuanya kembali kepada diri kita sendiri,seberapa
jauh kita meyakini keberadaannya.
Meyakini
tanpa harus bertanya,karena setiap hal yang terjadi pasti ada hikmah di
baliknya.
Nah
sekarang seberapa anda mengartikan keimanan itu sendiri??
Karena
percayalah, Tuhan hanya bisa melihat dan mendengar bukan yang menilai dan
memutuskan kehidupan apa yang akan kita temui dan akan kita jalani setelah
kefanaan dunia ini kelak.
Setidaknya hal itulah yang selalu saya yakini.
Kramat Jati, 6
Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar