.

Rabu, 11 Februari 2015

Waktu Untuk Merindu




Siapakah aku sebenarnya? dan bagaimanakah, sering aku bertanya pada diriku sendiri, perjalanan hidupku ini akan berakhir?


Pagi itu, sunyi terasa begitu mendekap. Dan aku sedang duduk tidak jauh dari tenda tempat aku bermalam. Terpaku pada satu titik, lama aku terdiam menatapnya. Menyaksikan segala hal yang berlalu di dalamnya.
Matahari masih enggan tampakan diri namun kabut begitu setia menemani, seakan menafaskan kehidupan yang sudah berlalu. Bau tanah merah selepas hujan. Angin yang bertiup semilir, datang menyibak keheningan, simpulkan keraguan.


Mengenai kehidupanku? Kehidupanku tidaklah spektakuler seperti yang pernah aku angankan, tapi juga tidak terlalu membosankan dan monoton. Tidak ada yang istimewa mengenai diriku.
Aku lebih banyak terdiam menyikapi keadaan.
Aku hanyalah laki-laki biasa, dengan pikiran biasa, bahkan kehidupan yang aku jalani pun biasa saja.
Aku tidak memiliki banyak sahabat, yang terbaik pun aku tinggalkan. Tanpa permasalahan, aku pergi saja tanpa kabar, hingga batas sabar mereka hilang, tergantikan oleh kebencian, tanya yang begitu menggumpal. Sesal pasti ada, namun aku menerimanya dan terus mendoakan kebaikan untuk mereka.

Mendung begitu setia mendatangi hari, tidak nampak akan adanya warna lain pada hari ini. Dan benar saja, hujan terus saja datang. Tidak terlihat akan menghentikan rintiknya.
Dari pintu depan tenda yang terbuka, aku melihat tiga gunung menampakkan diri dengan gagahnya. Mengecilkan keberadaan kota-kota yang berada dibawahnya.
Mengingatkan pada masa lalu, masa jaya, cerita tentang puncak para dewa.
Tidak banyak aktifitas yang bisa dilakukan. Sementara hawa dingin semakin terasa menusuk kulit, yang bisa dilakukan hanya memanaskan air atau bersenda gurau dengan rekan seperjalanan. Sekedar untuk menghabiskan waktu.

Tidak banyak yang telah aku lakukan di dunia. Mungkin yang terjadi seperti halnya apa yang dilakukan manusia kebanyakan. Ada hal baik tapi itu juga beriringan dengan banyak hal buruk.
Kebodohan-kebodohan semasa muda, kebohongan-kebohongan yang ada, terjadi begitu saja.
Sementara usia sudah mulai menggerogoti anganku, tidak memberikan waktu untuk menoleh ke belakang dan memikirkan segala hal yang terjadi. Mimpi atau realitas semakin samar dibedakan.

Sibuk untuk hidup atau sibuk untuk sekarat.

Sayangnya, waktu tidak mempermudah diriku untuk tetap pada jalur yang sama. Jalan yang aku lalui kini, penuh dengan kerikil dan batu. Aku memang masih muda dan sehat, usiaku seperti yang banyak orang katakan, tengah berada pada usia produktif.
Namun itu hanyalah sudut yang terlihat oleh mata, pada raga. Karena pada jiwa, aku hanyalah kayu yang berisikan rayap, lapuk dan mudah hancur.

Kehidupan cintaku? Ah tidak seindah khayalan yang aku tulis. Namun aku pernah mencintai seseorang dengan kesungguhan hatiku, dengan setulus jiwa yang aku miliki. Dan bagiku, itu sudah cukup. Meski kisah kami akhirnya berbeda di ujung jalan.
Memang bukanlah kisah roman impian, dimana akhirnya cinta itu dipersatukan. Namun aku selalu bersyukur, karena telah dipertemukan dengannya.
Banyak yang akan menyebutnya kisah romantis namun banyak juga yang berkata itu adalah kisah yang tragis. Menurutku hanyalah gabungan dari keduanya.
Ada beberapa kisah yang menimbulkan kesalahpahaman, namun aku selalu percaya, perlahan waktu akan menyingkap kebenaran, meski kematianlah yang menunggu di ujung jalan.

Pagi berikutnya, kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan. Tidak ada perjalanan menuju puncak, karena memang sedari awal, itu bukanlah tujuan utamanya.
Cuaca masih kurang bersahabat, kabut masih sering datang, menutup jarak pandang. Tidak banyak orang yang aku temui pada perjalanan kali ini. Suasana yang sebenarnya jarang aku temui. Tenang dan sunyi, begitu terasa. Sesuatu yang dalam 2 tahun belakangan ini begitu jarang aku temui.

Segala sesuatu bergerak begitu cepat, seakan tidak memberikan waktu untuk menghela nafas. Aku mengingkari segala hal yang memperdulikanku. Uluran persahabatan yang terjalin, mengacuhkan segala rasa yang ditaburkan sang pencipta.
Segala hal baik seakan tidak berarti, penilaian yang ada hanyalah untuk kehinaan. Jalani hal yang salah terasa lebih berarti ketimbang memikirkan apa yang benar.
  
Perjalanan ini, menyadarkanku akan sebuah hal. RINDU. Sesuatu yang tidak aku temui setahun belakangan ini.
Aku hanya berjalan saja, mengikuti arus yang ada. Tak ada lagi hasrat menggebu, yang ada kini hanya perjalanan mencari sebuah pengakuan.
Hidup memang aneh, kadang ia memberikanmu kejutan-kejutan yang tidak bisa engkau bayangkan, namun kadang hanya berjalan dan mempertemukanmu dengan berbagai hal yang tidak pernah kau angankan. Dan terkadang hidup hanya melakukan sebuah perulangan. Mempertemukanmu dengan berbagai hal yang sama.

Ada begitu banyak hal yang aku sukai dalam hidup. Melihat matahari turun dan menantikannya datang kembali. Berbagi secangkir kopi dengan teman seperjalanan, melihat sekawanan burung bercengkrama menghabiskan waktu. Merencanakan sebuah perjalanan, mengunjungi temat yang sebelumnya tidak pernah dikunjungi.
Melihat senyum adikku.
Namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku tengah butuh waktu untuk merindukannya lagi.
Ya aku rasa benar, Aku memang butuh waktu, untuk merindukanmu lagi. Hidup.

Merbabu, 16 Desember 2014

0 komentar:

Posting Komentar