.

Senin, 20 April 2015

#AmpasTahuNews : Politik Dan Sepakbola


Visit me in everywhere @ngawaludin
Belakangan, sepakbola negara ini tengah mengalami pergunjingan yang luar biasa. Gaduh. 2 sisi berseberangan. Adu kuat kuasa. Tapi, menurut saya, yang tengah terjadi hanyalah sesuatu yang biasa saja. Mudah ditebak. Ya, seperti itulah pandangan saya terhadap apa yang tengah terjadi. Bisa terjadi kapan pun, di waktu apapun, dan dimanapun. Masih abu-abunya wilayah kepentingan para pemangku kepentingan membuat hal ini bisa terjadi. Kemenpora (Kementerian Pemuda dan Olahraga) dan BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia), yang berdiri mewakili pemerintah, merasa berhak untuk mencampuri urusan sepakbola. PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), merasa, bisa mandiri dan tidak perlu bantuan dan saran dari pihak lain.
Pertanyaannya sekarang, benarkah tindakan Kemenpora?

Benar. Jika ditilik dari sisi peran, kemenpora mempunyai “hak” untuk mencampuri urusan sepakbola di Indonesia. Karena PSSI masih dibawah berada di bawah mereka, diangkat dan diakui oleh kemenpora, yang merupakan perpanjangan tangan dari negara. Belum lagi, PSSI merupakan badan publik, dimana sumber pendanaannya bisa dari mana pun. Namun sayangnya, PSSI seakan enggan berbenah. Mereka menggaungkan keterbukaan dan bisa dipertanggung-jawabkan, tetapi tidak ada laporan “nyata” kepada pecinta sepakbola. Akar permasalahan pun semakin dalam. Padahal dalam undang-undang ada peraturan tentang badan publik. Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 (3) menyebutkan :
“Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.”
Suka atau tidak, PSSI masih berada di bawah pemerintahan, dalam hal ini di bawah Kemenpora. Kegiatan yang menjadi program PSSI pun sedikit banyak masih berkaitan dengan penyelenggaraan negara, semisal PON (Pekan Olahraga Nasional) yang mengharuskan PSSI menjalin koordinasi dengan KONI. Begitu pun dengan SEA GAMES, yang kita semua tahu, tanpa bantuan pemerintahan, infrastruktur tidak akan diperhatikan.
Lalu salahkah dengan apa yang dilakukan Kemenpora?
Tentu saja salah. Karena sepakbola, seyogyanya hanyalah sepakbola. Jangan sampai ada intervensi dari wilayah lain, terutama politik. Yang paling disesalkan, tentu saja intervensi Kemenpora yang terlalu jauh. Menghentikan liga bukanlah solusi terbaik. Memberi efek jera, saya setuju. Memberi peringatan, saya setuju. Intervensi? Tidak, saya tidak menyetujuinya. Kemenpora tidak boleh lupa, “tidak ada organisasi buatan manusia yang sempurna”. Masalah pasti ada, tetapi harus bisa diberikan solusi, bukan mematikan.
Soal politik, bahkan menurut saya, seorang Sepp Blatter dan FIFA juga tidak luput dari dosa. Hal itu bisa dilihat dari penunjukan Qatar sebagai penyelenggara piala dunia 2022. Kompromi sangat jelas terlihat dalam penunjukan ini. Kompromi tersebut bisa dilihat dari memaklumi kondisi cuaca yang super panas hingga mundurnya jadwal penyelenggaraan. Dimana pertandingan akan digelar menjadi akhir tahun. Jika umumnya diselenggarakan pada juni dan juli, demi Qatar, piala dunia akan diselenggarakan pada akhir tahun, sekitar november hingga desember. Isu yang berkembang, akan ada pengurangan hari, jika biasanya diselenggarakan dalam 30 hari, demi Qatar akan diselenggarakan dalam 28 hari. Kompromi yang luar biasa bukan.
Apa lebihnya Qatar? Piala dunia mereka tidak pernah berpartisipasi, piala asia mereka tidak pernah menjadi juara di level senior. Lalu apa? Bagi saya pribadi, kelebihan terbesar Qatar adalah sumber dana mereka yang tidak terbatas. Mereka bukan negara adidaya, tapi mereka negara yang teramat kaya. Pulau pun dapat mereka buat. Itulah sumber daya terbesar mereka. Itulah daya tarik Qatar. Kelebihan lain dari Qatar adalah mereka termasuk negara yang menyukai sepakbola. Dan mereka tidak takut untuk berinvestasi dalam jumlah modal yang sangat besar. Hal itu dapat dibuktikan dari bagian dada seragam beberapa klub top eropa. Bukan hanya seragam, nama stadion pun, mereka berani untuk berinvestasi. Belum lagi kepemilikan pebisnis Qatar atas sebuah klub papan atas eropa. Politik sangat kental, walau memang masih belum dapat dibuktikan. Kebijakan yang masih penuh dengan pro dan kontra.
Indonesia pun demikian. Politik seakan menjadi lembaran kelam dalam sepakbola. Saya geram bukan main ketika melihat pendukung ketua umum PSSI yang lalu, mem-backup mati-matian sang bos. Padahal kasus korupsi tengah membelenggunya. Sampai dipenjara pun tetap dibela. Bos, yang diatas angin, tidak mau turun tahta. Menjadikan korupsi seakan begitu agung di negara ini. Belum lagi mafia pengaturan skor. Sisi yang dicari hanyalah keuntungan. Majunya tekhnologi seakan dimanfaatkan beberapa pihak meraup untung, termasuk dari sisi perjudian online.
Saat ini seolah-olah tidak ada orang yang mampu untuk mengelola PSSI, kecuali para mafia. Namun menurut saya, sebenarnya bukan tidak ada. Indonesia memiliki banyak pakar dan ahli sepakbola. Hanya saja mereka masih takut untuk berbuat lebih. Atau mungkin juga, hanya senang bergaung ketimbang berbuat.
Jujur saja, hal mendasar yang menurut saya harus diubah adalah kepengurusan. Saya heran, kenapa ketua umum PSSI tidak pernah seseorang yang “murni” hidup dari sepakbola. Pensiunan pesepakbola, pelatih sepakbola, atau paling tidak yang hidup dari sepakbola. Kenapa tidak ada yang berani maju seperti halnya Michael Platini, presiden UEFA saat ini, yang kita tahu merupakan pensiunan pesebakbola. Belakangan pun, Luis Figo terang-terangan maju menjadi salah satu kandidat presiden FIFA. Lalu kemana orang-orang seperti bima sakti, aji santoso, aples tecuari, ruly nere, kurniawan dwi yulianto dll? apa mungkin perlu menunggu bambang pamungkas pensiun terlebih dahulu, lalu menyuruh dia mencalonkan diri menjadi ketua umum PSSI. Persyaratan menjadi ketua umum PSSI pun, sudah mereka kantongi, lalu apa lagi yang kalian tunggu. Syarat umum menjadi ketua umum PSSI secara garis besar adalah  : berusia lebih dari 30  tahun, aktif dalam sepakbola sekurang – kurangnya 5 tahun dan tidak terkait masalah pidana.

Lalu syarat terpenting, menurut saya :  
Anda harus mencintai sepakbola seutuhnya, bukan kuasa sepenuhnya.

Pernahkah kalian, yang mengaku supporter, peduli dengan pendanaan klub kalian? Atau kalian hanya peduli melihat tim kalian bertanding dan bernyanyi “hari ini pasti menang”, tanpa mau mengakui kekalahan dan belajar daripadanya. Berteriaklah untuk “keterbukaan”, karena hanya dengan hal tersebut, setidaknya “rasa memiliki” kalian jauh lebih besar ketimbang terus menghujat berbagai permasalahan. Kemandirian akan timbul dengan sendirinya. Setidaknya, sudah ada klub yang melakukannya, tanpa harus merengek atau “melacurkan klub” kepada daerah lain. Persib Bandung adalah contoh terbaik klub yang mau belajar, mereka rela menjual “penampilan” seragamnya. Mereka sadar, penampilan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan mereka akan gelar juara dan juga kebutuhan akan pemain terbaik. Setidaknya, klub itu menjadi stabil dalam menghadapi kompetisi.
Lalu Persipura Jayapura dan arema malang (sekarang lebih dikenal sebagai arema cronus). Untuk persipura saya salut dengan hangatnya sistem manajemen mereka. Sistem kekeluargaan lebih dikedepankan. Hal itu membuat mereka tampil stabil menghadapi banyak kompetisi dan membuat seorang boas solossa, bertahan hingga detik ini. Lalu arema, meski terkena kartu merah dari Kemenpora dan BOPI, saya selalu mengagumi keterbukaan manajemen mereka. Sedari awal, manajemen sudah terbuka tentang target pendapatan mereka. Dan itu disampaikan pada siaran televisi.

Yah apapun, sebagai seseorang yang menyukai olahraga ini, saya berharap PSSI dan Kemenpora menemukan jalan tengah. Mampu saling bersinergi. PSSI harus lebih kuat, tidak kalah oleh kepentingan, bahkan oleh “konser boyband”. Kuatkan pembinaan, perbanyak kompetisi tingkat usia dini, buat lebih banyak lapangan berkualitas “anti banjir”.
Saya berharap PSSI bisa membuat program pembinaan bernama “goes to school”. Negara kita tidak kekurangan bibit unggul, ada banyak. Mereka hanya menunggu untuk ditemukan, diasah dan diberikan arahan. Dan seperti banyak pemikiran orang tua di negara ini, menjadi pesepakbola bukanlah pekerjaan favorit. Di masa nanti, bisa saja kan PSSI bersinergi dengan Kemenpora untuk menghilangkan stigma tersebut dan memberikan jaminan kehidupan yang layak atau mungkin menjadi pegawai negeri di masa pensiun nanti. Ah tapi itu hanyalah harapan saya saja ya!!
Dan jangan tanamkan di setiap hati generasi pecinta sepakbola negeri ini “budaya HARUS menang”. Beberapa supporter masih memiliki fanatisme sempit, melihat berdasarkan daerah atau warna seragam sepakbola. NO RESPECT, NO LOVE. Bahkan karena hal ini, bisa saja anda mati hanya karena berteriak di depan sekumpulan supporter, atau dikejar hanya karena memainkan jempol anda ke bawah. Itu sudah terjadi loh.
Jauhkan nyanyian “Garuda..,didadaku..,Garuda..,kebanggaanku..,Kuyakin..,hari ini..,pasti menang”, jadikan “Garuda..,didadaku..,Garuda..,kebanggaanku..,Bertarung..,dengan penuh..,kehormatan”.

Just My Opinion – Don’t Look Back in Anger

0 komentar:

Posting Komentar